Kamis, 31 Maret 2011

Ayah Kembalikan Tanganku



Karya Harie Insani Putra
Dimuat di Radar Banjarmasin

KARENA biaya hidup di kota besar serba sulit, biaya makan mahal, pakaian yang dikenakan juga mahal maka sepasang suami istri itu keduanya harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang kian bervariasi.
Karena semuanya serba mahal maka semuanya juga harus mensiasati tingkah laku keadaan, keadaan di mana semua toko-toko bak raksasa dengan berbusana cinderella mempertontonkan keistimewaan barang-barang baru yang mau tak mau cara-cara semacam itu semakin banyak ditiru. Dan dari situlah predikat kota terlihat nampak jelas; mahal, dan kota industri memaksa manusia-manusia kota menjadi konsumtif dengan produk-produk temuannya.
Sepasang suami istri itu juga semakin bertingkah laku seperti kebiasaan hidup di kota-kota besar, meninggalkan anak mereka untuk diasuh oleh seorang pembantu rumah tangga.
Siang ini, pembantunya membiarkan Niyah sendirian bermain di rumah. Karena memang pekerjaannya tidak hanya untuk mengurusi anak majikannya saja. Dapur dan pembantu lebih akrab kedengarannya, itulah sebab kenapa pembantu harus ada. Kehidupan kota membuat jarak antara wanita dan dapur, bahkan pembantu lebih hafal sudut-sudut rumah ketimbang majikannya.
Niyah asyik bermain di atas ayunan yang dibeli ayahnya. Hampir setiap hari ia selalu begitu, terkadang memetik beberapa tangkai bunga melati, bunga kertas dan sedikit mengumpulkan pasir sekadar bermain masak-masakan seorang diri menirukan cara pembantunya ketika sedang memasak.
Dengan tangannya yang mungil, Niyah meraup pasir itu berulangkali. Harapannya dengan memasak lebih banyak ia bisa sedikit membagikannya pada si Moli, kucing kesayangannya. Niyah terus berfantasi hingga pada akhirnya ia melihat sebatang paku karat menyembul di antara pasir yang hendak diraupnya.
Niyah mengurungkan niatnya memasak, dibawanya paku karat itu di sebuah sudut dekat garasi mobil. Diapun mulai menggambari lantai itu, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer, coretannya itu tidak nampak jelas olehnya. Ia kemudian berpindah ke tempat lain, juga masih coretannya belum nampak jelas. Niyah mendekati mobil baru ayahnya, pelan Niyah mencoba menempelkan ujung paku itu, betapa gembiranya Niyah melihat usahanya membuat garis melingkar berhasil. Ya…karena warna mobil itu gelap, coretannya sudah pasti tampak jelas. Ia kemudian terus menggambar seperti layaknya kanak-kanak, pertama-tama ia menggambar gunung dengan matahari di tengah-tengahnya. Saat itu, sengaja orang tuanya menggunakan sepeda motor ke tempat kerja karena jalanan macet oleh sebab demonstrasi para mahasiswa yang menuntut agar pergantian presiden dipercepat karena dinilai tidak lagi mendengarkan aspirasi rakyatnya.
Setelah penuh coretan yang sebelah kanan, dia berpindah ke sebelah kiri. Dia segera membuat gambar ibu dan ayahnya, kemudian di tengah ia menggandeng kedua tangan orang tuanya.
Belum puas dengan itu semua, dia kemudian menggambar ayam, kucing, ikan dan bunga-bunga sebagaimana mengikuti imajinasinya. Dia terus saja menggambar sementara pembantu rumah sedang sibuk bekerja di dapur.
***
Saat petang tiba, akhir dari sebuah rutinitas kesibukan berakhir, kedua pasangan suami istri itu pulang dengan wajah yang lelah sehabis seharian bekerja. Ketika si ayah hendak memasukkan sepeda motornya ke garasi, detak jantungnya berdegup kencang. Ia terkejut melihat mobil yang baru dibelinya sudah berganti rupa, mobil yang belum lunas itu sudah dipenuhi coretan-coretan. Ia membalikkan badannya beberapa kali memutari mobilnya itu, semuanya penuh. Warna gelap kesukaannya berhias garis-garis putih yang melurus, melengkung memenuhi semua bagian depan, belakang dan samping mobilnya. Pada tempat tertentu, coretan itu ada yang melesak jauh ke dalam seakan di antara garis tipis-tipis yang mengitari bulatan itu adalah matahari yang sedang menyala, matahari yang panas, matahari yang menyengat. Si ayah yang belum lagi masuk ke dalam ini pun terus menjerit sekerasnya.
“Siapa yang mencoret-coret mobil ini!!!?”
Pembantu rumah tersentak dan lekas-lekas berlari menengok keluar diikuti istrinya. Keduanya terkejut bukan kepalang. Pembantu itu mengelus dadanya sambil beristighfar. Raut mukanya pucat menahan takut lebih-lebih menyaksikan tatapan wajah tuannya yang bengis seakan ingin menelan tubuhnya.
Dua kali bertanya, dua kali pula pembantunya itu terkejut mendengar bentakan tuannya.
Melihat itu semua si istri mulai berang, lima centimeter dari wajah pembantunya si istri mendamprat dengan sekeras-kerasnya.
“Tak tahu, nyonya…,” jawab pembantu itu semakin ketakutan, apalagi melihat bola mata nyonyanya itu membulat besar melototinya.
“Lantas apa saja yang kau buat sepanjang hari di rumah?” hardik si istri begitu geram senada kemarahan yang diluapkan oleh suaminya.
Dari dalam, si anak yang mendengar suara kedua orangtuanya, lantas keluar dari kamar. Ia sudah biasa seperti itu, kedatangan kedua orang tuanya adalah saat-saat yang membahagiakan. Sampai di luar dengan penuh manja dia berkata; “Niyah yang membuat itu ayah…baguskan?” katanya sambil memeluk ayahnya ingin bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang sabarnya segera mematah sebatang dahan kecil dari pohon bonsai terus dipukulkan berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Niyah menjerit kesakitan meminta tolong pada ibunya, tapi sang ibu hanya diam. Apalagi ketika suaminya semakin keras memukul kedua bagian dari telapak tangannya seolah merestui dan ikut puas dengan hukuman yang dijatuhkan suaminya. Hukuman yang pantas untuk anak yang nakal.
Pembantu rumah terbengong, tidak tahu hendak berbuat apa, si ayah dengan sekuat tenaga terus bergantian memukuli tangan kanan dan kiri anaknya secara bergantian. Niyah meronta-ronta, menangis sangat hebatnya. Setelah menyadari banyak darah yang keluar, si ayah baru melepaskan tangan anaknya itu dan segera masuk ke rumah diikuti oleh istrinya.
Pembantu itu ngeri melihat kucuran darah yang berceceran di lantai. Ia segera menggendong Niyah masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar. Niyah terus saja menangis menahan pedih yang tak kira sakitnya ketika pembantu itu dengan hati-hati mmbersihkan luka tangan Niyah. Setelah tangan Niyah terbungkus perban, pembantu rumah segera memandikan Niyah. Sambil menyiram air, sambil ikut menangis, Niyah menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukannya terkena air. Usai itu, pembantu rumah kemudian menidurkan Niyah dan si bapak sengaja membiarkan anaknya itu tidur bersama pembantu rumah.
***
Tiba esok harinya, kedua belah tangan Niyah bengkak. Sebelum kedua majikannya berangkat seperti biasa. Pembantu rumah mengadukan perihal tangan Niyah.
“Oleskan obat saja!” begitu perintah Tuannya dengan acuh. Mukannya masih bersungut-sungut ketika memaksa pandangannya diarahkan pada mobilnya.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anaknya itu yang hampir seharian tidak keluar dari kamar pembantu. Malahan si bapak berniat kembali memarahi Niyah, namun urung saat pembantunya bilang kalau Niyah sedang tidur. Setiap kali memandang mobil itu selalu bathin si ayah selalu tertekan dan segenap emosinya memuncak untuk menumpahkannya kembali pada Niyah.
Tiga hari terlewati, lepas begitu saja dan berlalu tanpa si ayah dan si ibu menjenguk Niyah di dalam kamar pembantunya. Perhatian mereka sebatas bertanya saja bagaimana keadaan Niyah pada pembantunya.
“Niyah demam…,” suatu kali jawab pembantunya ringkas.
“Kasih minum panadol,” jawab si ibu lalu masuk kamar tidurnya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan majikannya kalau suhu badan Niyah terlalu panas.
“Sore nanti saja kita bawa ke dokter praktek,” kata majikannya itu sambil bergegas berangkat kerja.
Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke dokter praktek. Dokter mengarahkan agar Niyah dirujuk ke rumah sakit karena keadaannya yang serius. Setelah seminggu rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu.
“Tidak ada pilihan…,” katanya mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena infeksi dan segala macam yang terjadi sudah terlalu parah.
“Jaringan organ kulit bagian dalam tangannya sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya, kedua tangan itu perlu di potong dari siku ke bawah.” Ucap dokter.
Si ayah dan si ibu bagaikan terkena halilintar setelah mendengar kata-kata itu. Dunia terasa berhenti berputar, tapi apa lagi yang dapat dikata. Si ibu meraung menerobos tubuh dokter itu dan segera merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata istrinya, si bapak gemetar menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari bilik pembedahan, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Di tatapnya muka si ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis.
Dengan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata ;
“Ayah…ibu…Niyah tidak akan mencoret-coret mobil lagi. Niyah tak mau ayah pukul. Niyah sayang ayah…sayang ibu,” ucapnya berulangkali membuat si ibu gagal menahan sedihnya.
“Niyah juga sayang kak Ita…,” katanya memandangi wajah pembantunya yang kemudian meraung menyaksikan Niyah yang tak berdaya seperti itu.
“Ayah…kembalikan tangan Niyah. Untuk apa ambil tangan Niyah. Sungguh, Niyah janji tidak akan mengulanginya lagi. Bagaimana caranya Niyah mau makan nanti? Bagaimana Niyah mau bermain? Niyah janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi,” ucapnya berulang-ulang.
Serasa lepas jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Ia meraung dan berteriak memukuli dada suaminya dengan sekuat hati meluapkan kesedihannya. Tak lama kemudian si ayah dengan perasaan kalut menuju tempat mobilnya di parkir, lukisan matahari, ayam, kucing dan bunga itupun kini telah remuk kehilangan bentuk aslinya di sana, di bawah jurang. Dan esoknya mereka kembali rutin bekerja, bekerja yang sia-sia untuk merawat luka-luka.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar